Program RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) memang mengandung banyak kelemahan mendasar seperti yang disampaikan oleh IGI (Ikatan Guru Indonesia), namun beberapa hal positif sebenarnya bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk meneruskan program ini. Berikut beberapa hal negatif dan positif menurut saya pribadi harus menjadi kajian dalam memutuskan apakah RSBI bisa dilanjutkan atau tidak.
Aspek Negatif
Masalah terbesar di program RSBI bagi saya adalah pada konsep yang belum matang. Tidak adanya kajian akademis dan uji coba lapangan yang memadai membuat program ini dilaksanakan tanpa perhitungan. Kemudian prosesnya berjalan tidak terkendali dan pada akhirnya tidak mencapai outcome yang diharapkan. Konsep yang belum matang yang dimaksud adalah pada:
- Standarisasi pada peralatan, kualifikasi SDM, penggunaan materi ajar berbahasa Inggris dan evaluasi menggunakan acuan negara OECD.
- Aturan yang tidak rinci dan sangat rentan terhadap multi interpretasi di lapangan, seperti diperkenankannya pungutan ke siswa, kriteria siswa miskin dan berprestasi dan “penyelewengan” istilah internasional sehingga muncullah berbagai kegiatan ikutan yang berlebihan untuk “belajar” ke sumber-sumber internasional terutama di luar negeri.
Orientasi pada pengadaan alat. Hal ini jelas-jelas bukanlah suatu hal yang “mutlak” diperlukan untuk meningkatkan kualitas proses belajar di suatu sekolah. Ada kesan seakan-akan laptop dan proyektor LCD akan menjadi “benda ajaib” yang akan membuat proses belajar menjadi berkualitas secara instan. Pandangan keliru semacam ini tertanam di masyarakat hanya karena telah berlabel “RSBI”.
Tidak adanya antisipasi dari pengambil kebijakan bahwa program-program “menara gading” semacam ini biasanya akan menimbulkan histeria berlebihan di masyarakat dan cenderung menghasilkan berbagai ekses negatif. Terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat pendidikan akibat label RSBI, munculnya berbagai program S2 “asal jadi” hanya untuk mencari gelar adalah contoh dimana ekses negatif bisa demikian mudah muncul di masyarakat Indonesia yang masih sangat “tidak dewasa” jalan pemikirannya.
Adanya kesan sangat kuat bahwa program RSBI hanyalah program “politis” yang mencari hasil berupa loncatan “instan” yang semu. Sebuah program yang diluncurkan karena “mumpung” ada anggaran tersedia yang sangat besar, dan “hasilnya” bisa segera dilihat dan dirasakan.
Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Pendidikan membentuk budaya, budaya juga menentukan bentuk pendidikan. Seharusnya pemerintah Indonesia membangun sistem pendidikan berkualitas berbasis budaya lokal kita yang terbukti unggul. Pengambil kebijakan juga harus berpikir jauh kedepan, apa yang kita lakukan dalam proses pendidikan hari ini akan menjadi faktor utama pembentukan budaya masa depan negeri kita. Segala langkah harus diperhitungkan matang agar kita tidak terpeleset menjadi “perusak” budaya luhur Nusantara. Apakah standar negara OECD sudah sesuai dengan budaya dan karakter bangsa kita? Harus dikaji dahulu.
Aspek Positif
Sistem pendidikan Indonesia perlu lokomotif dan contoh model yang dapat dijadikan acuan bagi seluruh sistem untuk maju. Sudah terbukti bahwa sistem pendidikan Indonesia yang ada saat ini mampu menghasilkan beberapa sekolah yang betul-betul berkualitas, baik dari negeri maupun swasta. Sekolah-sekolah terbaik ini muncul karena sistem pendidikan kita yang “liberal”, yang kuat semakin kuat dan yang lemah semakin lemah. Namun tidak dapat disangkal bahwa sekolah-sekolah unggul tersebut sebenarnya bisa menjadi sekolah berkualitas tinggi dan bahkan bisa diorong lebih jauh lagi apabila diberi fasilitasi khusus ala program akselerasi RSBI. Hasilnya adalah sekolah-sekolah yang memiliki level “internasional” yang bisa menjadi “penarik” sekolah lain untuk leih maju, baik sebagai motivator maupun sebagai sekolah model yang bisa dijadikan acuan bagi sekolah lain untuk maju.
Penggunaan acuan dan referensi standar evaluasi pendidikan dari negara-negara OECD bisa dilihat sebagai hal yang positif, yaitu jika didahului dengan penelitian mendalam tentang aspek mana yang bisa diterapkan di Indonesia, serta hal mana yang harus disaring. Tidak bisa dipungkiri bahwa standar di negeri OECD pasti merupakan standar yang telah dibangun lama dan mampu membawa negara yang memakainya menjadi maju secara ekonomi dan teknologi. Standar yang dipakai pasti mengandung unsur-unsur “universal” yang bisa diterapkan dimana saja, namun juga pasti mengandung hal-hal “spesifik” yang hanya cocok untuk diterapkan di negeri asalnya. Jika Indonesia mampu melakukan “ekstraksi” dari hal-hal positif dan universal dan kemudian menjadikannya acuan untuk membangun standar “khas” Indonesia, pasti akan menjadi fondasi dari sistem pendidikan Indonesia yang paling cocok diterapkan di negeri kita. Namun diperlukan kajian akademis mendalam untuk menerapkan pemikiran ini.
Standar kualifikasi guru yang dipakai di program RSBI bisa menjadi “komitmen” dan titik tolak operasional dalam mendorong peningkatan kualitas SDM pendidikan Indonesia secara nasional. Standar ini mencakup kewajiban bergelar S2, level kompetensi Bahasa Inggris yang tinggi dan kemampuan memanfaatkan TIK untuk pendidikan. Cepat atau lambat memang SDM pendidikan Indonesia harus ditingkatkan untuk mencapai level tinggi. Program RSBI bisa dijadikan sebagai pendorong untuk menerapkan standar tinggi ini dalam lingkup terbatas. RSBI bisa diibaratkan “Kawah Candradimuka” bagi insan pendidikan Indonesia untuk “learn from the best” dan pada saatnya nanti mereproduksinya ke lingkungan yang lebih luas.
Referensi :
http://fearlycute.blogspot.com/2011/04/pengaruh-rintisan-sekolah-berstandart.html
http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/07/1307454/Biaya.Mahal.Pamor.RSBI.Menurun
Referensi :
http://fearlycute.blogspot.com/2011/04/pengaruh-rintisan-sekolah-berstandart.html
http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/07/1307454/Biaya.Mahal.Pamor.RSBI.Menurun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar