munculnya
wacana baru kenaikan BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500 / liternya. Sama nasibnya
dengan wacana pembatasan subsidi BBM untuk mobil berplat hitam, wacana
menaikkan BBM tersebut berlalu di tangan DPR. Gatot alias gagal total. Malahan
wacana menaikkan BBM bersubsidi disambut dengan sangat “meriah” oleh beberapa
mahasiswa di beberapa pula penjuru tanah air dengan membakar ban di tengah jalan, membakar mobil polisi, merusak pos polisi, menjebol pagar
DPR, menyandera mobil tangki BBM, menyandera dan memblokade SPBU.
Karena
dua wacana di atas gagal menjalankan misinya, pemerintah lagi-lagi mengeluarkan
wacana baru. Pembatasan BBM bersubsidi untuk mobil ber-cc 1.300 ke atas.
Maksudnya? Jadi mobil dengan kapasitas mesin mulai dari 1300cc hingga cc tidak
terbatas diwajibkan untuk memakai Pertamax atau dengan kata lain di haramkan
untuk meminum Premium yang merupakan BBM bersubdisi untuk golongan tidak mampu.
“Bagaimana
kalau mobil pribadi 1.300 cc kebawah?”
Ya
tetap harus mengisi ke SPBU. Maksudnya mobil dengan kapasitas mesin 1.300 cc ke
bawah masih dihalalkan untuk mengkonsumsi BBM bersubsidi alias Premium.
Tapi, kalau dilihat dari teknologi mesin saat ini, maka mobil dengan
kapasitas 1.200 cc yang beredar di Indonesia menurut kompresi mesin dan manual book seharusnya
sudah harus meminum Pertamax supaya pembakaran bensin di ruang mesin sempurna.
Jadi
tidak betul bila wacana tersebut sama dengan mengharuskan 1.300 cc ke bawah
harus pakai Premium tidak Pertamax. Jika mesinnya 1.200 cc nya ingin awet pakai
Pertamax, sangat dianjurkan. Mau irit namun mengorbankan lifetime mesin, pakai
Premium, tiada yang melarang. Selama mesinnya 1.300 cc ke bawah
“Bagaimana
jika mobil pribadi dengan cc besar lebih dari 1.300 cc tapi mesin diesel?”
Selama
solar merupakan jenis BBM bersubsidi sama dengan premium, maka silahkan
menikmati BBM bersubsidi tersebut hingga kenaikan yang akan datang.
Seperti itu kira-kira untuk mobil berplat hitam bermesin diesel diatas
1.300 cc. Tapi dalam kenyataan di Indonesia jarang mobil pribadi berkapasitas
besar, karena mesin diesel kapasitas 1.300 cc juga harus menggunakan Pertadex
dan ini harganya lebih mahal dibanding Pertamax. Tidak hanya lebih mahal,
Pertadex yang dikeluarkan oleh Pertamina sudah sangat jarang dijumpai. Terbatas
pada SPBU tertentu saja.
Ada
juga beberapa pengamat yang meragukan mekanisme dari wacana mobil 1.300 cc ke
atas jika benar diimplementasikan yang menurut mereka rawan penyimpangan. Di
dunia, apalagi di Indonesia, sistem apa sih yang bebas 100% dari resiko
penyimpangan?
Sebaik-baiknya
sebuah sistem, serapi-rapinya mekanisme dari sistem yang berjalan, pasti ada
saja oknum yang mencari celah, meskipun itu sekecil lubang hidungnya semut
sekalipun. Benar saya tidak membual. Sistem apapun itu, pasti ada oknum yang
keasyikan mencari kesempatan dalam kesempitan. Nah kalau sudah tahu begitu
bukan sistem itu yang harus dikalahkan, namun sistem itu harus dilindungi
dengan payung hukum yang kuat. Dengan kata lain, tindak tegas oknum penyimpang
itu, tidak ada kata ampun. Bisa karena biasa.
Referensi
: